myPortfolio
 
"Jika tiba waktuku, ku tak mauseorang ‘kan merayu. Tidak juga kau. Tak perlu sedu sedan itu. Aku ini binatangjalang, dari kumpulan yang terbuang." Chairil Anwar.

Entah gimana, bait itu selalu menjadi lebih dari sekeda rbait dalam puisi.
Dia seperti sebuah cermin.

            Ibu gue bilang, gue terlahir pada malam dimana para pemilik ajimat membersihkan benda penjaga. Malam dimana kegaiban mendapat malamnya. Tapi bapak gue bilang itu Cuma sekedar hari, saat sangkakala perubahan bertiup keras bagai halilintar. Api-api sang naga menggeliat liar di angkasa. Sebuah hari yang baru. 1 januari 1980. Tapi kebenaran akan hidup. Dan tidak selalu seindah cerita dalam dongeng.

Kesendirian adalah selimut kesegaran. Satu-satunya yang dapat melindungi gue yang kecil merayap mencari jalan. Ada pertanyaan saat sorot mata ini melihat keluar jendela. Bertanya,apa ibu akan pulang hari ini atau tidak. Apa Bapak akan terus diam, atau sekedar memberikan harapan dan melipahkan kesalahan.

Gue terlahir di sebuah kampung pinggiran daerah Bekasi. Sejak kecil ibu tidak pernah akur dengan bapak. Sejak berumur 3 tahun, Ibu sudah sering meninggalkan gue karena bertengkar dengan Bapak. Gue ingat, saat gue berumur 11 tahun, kami saling berbicara dengan lengang dimuka rumah. Ibu sedang berbicara dengan Bapak. Entah apa yang dibicarakan. Tapi gue ingat ada sebuah senyum. Sebuah candaan kakak beradik. Adik gue waktu itu berumur 6 tahun. Tanpa sadar gue dan adik gue menangis keras saat Bapak mengangkat sebuah meja dan membantingnya ke arah ibu. Ibu menjerit keras.

            Warna langit dari balik jendela terkadang terlihat begitu indah. Tapi begitu menusuk saat sebuah pertanyaan mengalir begitu saja bagai air dari mulut adik kecil gue.“ abang, kapan emak pulang?”

            Terlalu banyak kejanggalan, dan kepahitan datang dari sebuah amarah. Lalu apa seseorang akan menjadi kecil saat ia lebih memilih diam. Karena dimatanya, diam adalah perisai kesadaran yang dapat melindungi dia dan orang yang disayang. Agar tidak lagi mengalir. Seperti saat darah mengalir dari kepala ibu karena dipukul dengan sepatu oleh bapak. Di pagi yang lengang, lalu bergemuruh. Gue memilih diam, karena semoga tidak ada pertengkaran. Kecillah gue si binatang jalang. Yang terlahir pada hari saat adzan maghrib berkumandang.
       
            1984. Peri-peri menari sementara para malaikat bernyanyi. Tabuh bedug diatas gerobak mengalun bagai pujian pada sang mencipta. Dia menciptakan detik romansa gue dan ibu saat segala yang hitam kembali putih. Semua bertakbir. Kami bertakbir. Diatas gerbong kereta menuju kampung halaman. Ibu membawaku lari dari rumah. Tidak seperti biasanya. Saat gue masih menyusu, kakak bapak yang menyusui. Tapi jangan persalahkan ibu. Telapak kakinya yang keras menginjak kerikil, dan perih merayap di atas jaring hidup membuatnya lebih dari sekedar ibu. Hanya saja sayapnya yang patah membuat ia berbaring diatas tanah bukan dilangit.

2009. Ini adalah hari dimana para malaikat bernyanyi dengan do’a-do’a dan para iblis bersiap menggoda. Seorang putri dari kerajaan antah berantah terlahir.

Cantik. Seorang bayi kuning yang cantik. Kini gue tahu apa seperti apa malaikat jika tertawa, kini gue sadar seperti apa Tuhan saat berkehendak, dan gue rasakan bagaimana menjadi seorang ayah. Elegi keras yang menghadang diantara waktu-waktu sebelumnya selalu menghujam tajam bagai lembing, perih menuding mereka yang melahirkan gue. Tapi tidak, kini gue tahu apa itu hakikat menjadi sang pengasuh, sang terpercaya.Sebagai orang tua. Bahagia seorang ayah, rasa takut seorang ayah, tanggung jawab seorang ayah. Bukan sekedar terlahir bukan sekedar senyum. Tapi sebuah senyum besar, untuk putri, istri, Bapak, dan Emak.
echO kecil yg akan terus bernyanyi.




Leave a Reply.